PELALAWAN, DELIK RIAU - Sepanjang Jalan Sakura, Pangkalan Kerinci, kabupaten Pelalawan, siang itu tak terlalu ramai. Tepat di persimpangan tiga ujung jalan itu, ada jalan yang berbelok ke kiri yang belum beraspal. Jalan tanah itu kira-kira sepanjang lima ratus meter. Di ujung jalan itulah Sumarni dan suami beserta sembilan orang anak dan cucunya menetap.
Di sebuah rumah kecil – lebih tepatnya disebut, pondok – berdinding bata yang belum diplester. Dinding bata setinggi kurang lebih dua setengah meter itu beratap seng. Sebagian telah berkarat dan berlubang. Nyaris tanpa atap plafon. Hawa panas yang terik siang itu merangsek hingga ke dalam rumah.
“Beginilah pak, keadaan rumah kami,” ucap Marni seraya mempersilahkan kami masuk.
Ia juga menawarkan makan siang, tapi dengan halus kami tolak.
“Kebetulan kami baru siap masak-masak. Nanti malam kami mendo’a empat puluh hari meninggal Intan,” ujarnya.
Ruang tamu berukuran dua kali empat itu tiba-tiba terasa penuh. Sumarni memanggil
suami, anak-anak dan cucunya. Tiga orang anak perempuannya, Eva Sari, Reni, Maya dan seorang cucunya datang.
Suaminya, Syaripudin, hari itu tidak bekerja. Sehari-hari lelaki itu berjualan buah keliling dengan sepeda motor.
Sepekan yang lalu, delikriau.com bertemu Sumarni di ruang tunggu pengunjung sidang Pengadilan Negeri Pelalawan. Hari itu, ia menjadi saksi untuk cucunya, IA alias Intan (15 tahun) yang jadi korban pembunuhan oleh MAA (17 tahun) pelajar SMA di Pelalawan, Riau.
Jelang menunggu namanya dipanggil, Sumarni menceritakan kisah hidupnya hingga tiba di Pangkalan Kerinci, Pelalawan dua puluh lima tahun yang lalu.
“Sewaktu tinggal di Medan, saya sakit keras selama enam bulan. Tiba-tiba saya lumpuh tak bisa berjalan. Kedua kaki saya terasa sakit, seperti terbakar kalau disentuh,” ucapnya mengawali cerita.
“Ketika akhirnya saya dibawa berobat ke sebuah rumah sakit, dokter yang memeriksa kala itu menvonis agar kedua kaki saya diamputasi. Kami terkejut, tidak menduga dokter akan mengatakan hal itu. Saya dan suami menolak. Saya dibawa pulang dan dirawat di rumah saja."
“Suatu hari tanpa sengaja, saya bertemu dengan seorang tentara yang dipanggil ‘Pak Kyai’ oleh orang-orang yang mengenalnya. Pak Kyai inilah yang mengobati kaki saya. Tidak lama, kaki sembuh dan pulih bisa berjalan lagi,” tutur Sumarni.
Ternyata, selain diobati secara non medis oleh Pak Kyai, Sumarni juga diajarkan cara
mengurut dan pengobatan patah tulang. Lantaran menurut penglihatan Pak Kyai tersebut, Sumarni memiliki bakat bawaan lahir. Namun, tidak disadari.
“Jadi, Pak Kyai itulah yang menguatkan bakat bawaan lahir saya. Sejak itu, saya bisa mengobati orang yang terkilir, salah urat hingga patah tulang,” ucap Sumarni.
Pada tahun 1996, Sumarni mengikuti keinginan suami merantau ke Pangkalan Kerinci, kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Mereka membawa serta lima orang anaknya yang masih kecil-kecil mengontrak sebuah rumah petak. Untuk membantu ekonomi keluarga, sehari-hari ia keliling kampung menjadi pemulung barang-barang bekas. Sementara suaminya berjualan buah potong.
Profesi sebagai pemulung itu ia geluti dengan sabar dan tekun. Sejak pindah ke Pangkalan Kerinci, rumah kontrakannya bertambah ramai dengan kehadiran empat orang anak. Sehingga jumlah anak-anaknya pun bertambah jadi sembilan orang. Tujuh perempuan dan dua laki-laki.
“Alhamdulillah, kesembilan anak-anak itu bisa sekolah semua. Sekarang, lima orang sudah menikah dan punya anak. Tinggal empat orang yang masih sekolah. Yang paling kecil, Wulan saat ini masih SMP kelas dua. Abangnya dan kakaknya sekolah di SMA. Inilah yang masih jadi tanggungan memenuhi biaya hidup dan pendidikan. Saya mau mereka semua bisa sekolah tinggi sesuai cita-citanya,” tutur Sumarni.
Setiap hari, ia berangkat memulung jam tujuh pagi. Belakangan ini, ia hanya menyatroni kantor-kantor pemerintah di sekitar Pangkalan Kerinci saja. Berkeliling hingga pukul sepuluh, lalu pulang. Anak-anaknya ikut membantu memilah-milah barang-barang bekas yang berhasil ia kumpulkan.
“Kadang-kadang, anak-anak ini ikut memulung. Mereka sendiri yang mau ikut. Tidak mau dilarang. Itu pula yang mengajarkan mereka tidak gengsi. Pekerjaan memulung ini kan halal,” tutur Sumarni sepekan lalu.
Selang beberapa jenak ia pun dipanggil Jaksa untuk segera bersaksi.
Rumah Sederhana di Ujung Jalan Sakura
“Sudah dua tahun kami tinggal di sini,” suara perempuan lewat paruh baya itu terdengar parau ditimpa hawa panas yang menyeruak ke dalam ruang tamu dua kali empat.
Benar apa yang diceritakannya sepekan lalu. Dari menabung hasil memulung dan berjualan buah potong, Sumarni dan suaminya bisa mencicil tanah kapling yang terletak di ujung Jalan Sakura. Di tanah inilah mereka bisa mendirikan rumah sederhana yang saat ini ditempati bersama dengan enam anak dan beberapa cucunya.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Sumarni baru saja kehilangan seorang cucu kesayangannya, Intan yang dibunuh oleh seorang pelajar SMA beberapa waktu lalu.
Hari ini sudah empat puluh hari cucunya itu tak pernah kembali lagi berkumpul di rumah di Ujung Jalan Sakura itu. Intan, cucu dari anak perempuannya yang ke dua bernama Evasari (34 tahun) yang tinggal dan menetap bersamanya.
“Awalnya kami dirikan tenda biru di tanah ini. Selama beberapa bulan kami berteduh dan tinggal beratap tenda biru. Berangsur-angsur ada rezeki, kami beli batu bata dan akhirnya bisa berdiri bangunan rumah ini,” ujar Sumarni. Suaranya parau, terasa menyimpan beban berat yang tak terkatakan.
“Tapi ya beginilah. Masih belum dikasih atap plafon dan belum di plester," kata Sumarni sembari menunjukkan sekeliling rumahnya.
Sumarni bercerita jika rumahnya itu sudah direncanakan masuk program bedah rumah oleh Pemerintah Kabupaten Pelalawan. Cuma, kapan waktunya, ia mengatakan belum tahu.
“Ya, semoga saja cepat diwujudkan. Kami sangat berterimakasih kalau Pemerintah bersedia memberi bantuan renovasi rumah ini. Saya do’akan Pak Bupati dan jajarannya sehat, panjang umur, murah rezeki,” ucap Sumarni seraya menangkupkan kedua telapak tangannya. Ada secercah harapan terlukis di wajah perempuan yang selalu menyunggingkan senyumnya itu.
Cahaya matahari siang di Pelalawan jatuh sempurna. Atap seng rumah di ujung Jalan Sakura itu menyerap terik hingga ke dalam. Hawanya meruar ke seluruh ruangan. Terik siang terasa menghujam-hujam.
Penulis : Sgi - Dd